Selasa, 10 Januari 2012

Bahasa Indonesia (Hiruk Pikuk Kemacetan Kota Jakarta)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang Masalah
Kemacetan adalah ancaman serius. Kota-kota utama di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar, makin terjebak kemacetan. Tanpa disadari oleh manusia dalam kapasitas sebagai diri, bersama, di wilayah personal, lokal, regional, nasional, internasional dan universal, Bahwa terjadinya berbagai kemacetan yang diakibatkan oleh adanya kemacetan lalu lintas jalan raya di ibu kota suatu  negara sangat besar pengaruhnya terhadap kemacetan laju pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan berbagai sisi dan dimensi kehidupan manusia (ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain).
Sebagaimana kemacetan di wilayah JABODETABEK yang sudah sangat parah, sehingga arus lalu lintas jalan raya di kota ini pun seakan lumpuh dan tak berdaya. Sehingga perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu paling lama 10 menit bisa menjadi 2 atau 3 jam.
Tentu hal itu sangatlah tidak efektif, tidak efesien,  dan yang pasti sangat merugikan  warga masyarakat, bangsa dan negara karena produktifitas jelas pasti mengalami penurunan oleh karena lelah, capek, jenuh terjebak dalam kemacetan jalan raya.




1.2       Rumusan Masalah  
Dengan melihat fenomena dari latar belakang di atas dalam melakukan sosialisasi yang dibutuhkan masyarakat, peneliti merumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut.”Bagaimana Mengatasi Hiruk Pikuk Kemacetan Kota Jakarta”.

1.3       Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini untuk mengetahui bagaimana  mengatasi kemacetan yang ada di Jakarta, dan tentunya peran serta Pemerintah dalam penanganannya.

1.4       Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam sistematika penulisan ini, sebagai berikut :
  1. BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang  masalah,perumusan masalah,tujuan penelitian dan sistematika penelitian. Bab ini merupakan pengantar untuk masuk pada penelitian dan gambaran awal yang melatari penelitian.
  1. BAB II LANDASAN TEORI
Berisi tentang pengertian kemacetan ,serta penyebab dari kemacetan kota Jakarta 
3.      BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Menjelaskan metodologi yang digunakan, yaitu bersifat kualitatif    studi kasus. Tekhnik pengumpulan    data yaitu melalui wawancara, internet, stasiun televisi dan diharapkan dengan melakukan tinjauan ini penulis dapat bermanfaat tentang permasalahan yang ada.
4.      BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
Berisi objek penelitian, deskripsi penyajian data, analisis       data,dan pembahasan
  1. Bab V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1       Pengertian Kemacetan
Sebelum masuk untuk solusi kemacetan di Kota Jakarta tentunya harus mengetahui apa itu kemacetan lalu lintas? arti kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan penduduk, misalnya Jakarta dan Bangkok.
Secara fundamental kemacetan itu adalah situasi dan kondisi yang tidak mendukung yang disebabkan banyak aktivitas Transportasi Publik yang melebihi kapasitas lintasan jalan raya. Jakarta adalah Jantung dari pusat Pemerintahan dan Bisnis. Pusat Pemerintahan adalah pusat Tata Negara dengan aktifvitas interaksi antara Masyarakat dengan Pejabat Publik yang melalui pertukaran Informasi dan komunikasi. Pusat Bisnis adalah pusat perdagangan antar Konsumen dengan Produsen yang memalui Transaksi barang atau jasa.
Disisi lain persoalan kemacetan masih menjadi fokus, tidak hanya terjadi di ruas jalan kota bahkan kemacetan telah merembet ke perbatasan Kota Jakarta. Berdasarkan Informasi, kemacetan diakibatkan volume kendaraan dari tahun ke tahun terus meningkat. Selain itu, sebagian jalan yang dilalui sangat sempit dan berlubang.

2.2       Dampak Negatif Kemacetan
Kemacetan lalu lintas memberikan dampak negatif yang besar yang antara lain disebabkan:
1.      Kerugian waktu, karena kecepatan perjalanan yang rendah
2.      Pemborosan energi, karena pada kecepatan rendah konsumsi bahan bakar lebih rendah,
3.      Meningkatkan polusi udara karena pada kecepatan rendah konsumsi energi lebih tinggi, dan mesin tidak beroperasi pada kondisi yang optimal,
4.      Meningkatkan stress pengguna jalan.
5.      Mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran dalam menjalankan tugasnya.

2.3         Penyebab Kemacetan
1.       Arus yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan
2.       Terjadi kecelakaan lalu-lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran karena masyarakat yang menonton kejadian kecelakaan atau karena kendaran yang terlibat kecelakaan belum disingkirkan darijalur lalu lintas,
3.       Terjadi banjir sehingga kendaraan memperlambat kendaraan
4.       Ada perbaikan jalan,
5.       Bagian jalan tertentu yang longsor,
6.       kemacetan lalu lintas yang disebabkan kepanikan seperti kalau terjadi isyarat sirene tsunami.
7.       Karena adanya pemakai jalan yang tidak tahu aturan lalu lintas, spt : berjalan lambat di lajur kanan dsb.
8.       Adanya parkir liar dari sebuah kegiatan.
9.       Pasar tumpah yang secara tidak langsung memakan badan jalan sehingga pada akhirnya membuat sebuah antrian terhadap sejumlah kendaraan yang akan melewati area tersebut.
10.    Pengaturan lampu lalu lintas yang bersifat kaku yang tidak mengikuti tinggi rendahnya arus lalu lintas




BAB III
MEODOLOGI PENELITIAN
3.1  Pendekatan Penelitian

            Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif. Hal ini didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana  mengatasi kemacetan yang ada di Jakarta, dan tentunya peran serta Pemerintah dalam penanganannya.
            Menurut Moleong mengutip pendapat Taylor mengenai metodologi kualitatif, adalah “sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. (Moleong, 2002:2).

3.2  Metode  Penelitian
                Penelitian ini bersifat deskriptif menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.(Nazir,2003:54)
            Data yang dikumpulkan dalam penelitian deskriptif ini adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Dengan demikian, laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuki menberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. (Moleong, 2006:11)  
1. Ciri-ciri metode deskriptif
            Secara harfiah, metode deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka. Namun, dalam pengertian metode penelitian yang lebih luas, penelitian deskriptif mencakup metode penelitian yang lebih luas di luar metode sejarah dan eksperimental dan secara lebih umum sering diberi nama, metode survey. Kerja peneliti, bukan saja memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, menguji hipotesis-hipotesis, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Dalam mengumpulkan data digunakan tekhnik wawancara, dengan menggunakan schedule questionair ataupun interview guide.(Nazir, 2003:55)
2. Jenis-jenis penelitian deskriptif
●          Metode survey,
●          Metode deskriptif berkesinambungan (continuity descriptive)
●          Penelitian studi kasus,
●          Penelitiananalisis pekerjaan dan aktivitas,
●          Penelitian tindakan (action research),
●          Penelitian perpustakaan dan documenter.

3.3  Teknik pengumpulan Data

                        Dalam penelitian ini penulis menggunakan berbagai teknik pengumpulan data, sehingga dihasilkan data sebagai berikut:


1.      Data Primer:
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan pertama di lapangan. Sumber data ini bisa responden atau subjek riset, dari pengisian kuesioner, wawancara, observasi. Dalam analisis isi, data primernya adalah isi komunikasi yang diteliti. ( Kriyantono, 2008:41).
Data primer diperoleh melalui:
a.       Wawancara
Percakapan antara periset seseorang yang berharap mendapatkan informasi dan informan seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi penting suatu objek (Berger,2000:111).Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.




BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1       Objek Penelitian

4.1.1    Sejarah Singkat Kota Jakarta
Nama Jakarta digunakan sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintahHindia Belanda tahun 1905.Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta , yang diberikan oleh orang-orangDemak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)".Sebuah dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Bantendan Sajarah Banten (pupuh 45 dan 47)sebagaimana diteliti Hoessein Djajadiningrat.[13] Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta).

Sunda Kelapa (397–1527)

Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari.Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, danTimur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Jayakarta (1527–1619)

Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni olehSudiro, walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadiJayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.

Batavia (1619–1942)

Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abat ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.[15] Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.[16]
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.

            Jakarta (1942–Sekarang)

Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.[17]
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, dan Pejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, sepertibanjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi.Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. (Lihat Kerusuhan Mei 1998).
            Data Penduduk
Tahun
Jumlah penduduk
Tahun
Jumlah penduduk
65.000
65.000
99.100
99.100
102.900
102.900
97.000
97.000
100.500
100.500
105.100
105.100
114.600
114.600
115.900
115.900
138.600
138.600
234.700
234.700
253.800
253.800
290.400
290.400
311.000
311.000
435.184
435.184
.










4.2.2    Permasalahan Kota Jakarta

Ibu kota Jakarta sudah melekat dengan predikatnya sebagai kota kemacetan. Kemacetan di ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari, terutama pada titik-titik persimpangan baik di jalan-jalan protokol hingga di jalan lingkungan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta semakin parah. Menurut sebuah penelitian,  kemacetan tersebut membuat masyarakat Jakarta mengalami kerugian hingga Rp 48 triliun per tahun (Detik News, 26 Nop 2008). Puncak kemacetan diperkirakan terjadi pada jam sibuk di pagi hari (sekitar pukul 6.30-9.00 WIB) dan sore hari (sekitar pukul 16.30-19.30 WIB). Dimana sebagian banyak penduduk kota Jakarta mulai menjalani aktifitas. Padatnya berbagai macam kendaraan di jalan raya mengakibatkan stres yang tinggi pada pengguna jalan, meningkatnya polusi udara kota, hingga terganggunya kegiatan bisnis.
Dalam catatan Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2007, terdapat 77 lokasi kemacetan pada ruas-ruas persimpangan jalan utama. Pada jam puncak kemacetan, kecepatan rata-rata bus kota hanya mencapai 10-25 km/jam untuk pagi hari dan 7-24 km/jam pada sore hari. Pada tahun 2000, diperkirakan jumlah perjalanan penumpang per hari mencapai 8,4 juta orang, dimana sebanyak 49,7% penumpang menggunakan angkutan umum bus kota, 26% menggunakan kendaraan pribadi, 19,3% menggunakan sepeda motor; dan 4% menggunakan jenis kendaraan lainnya. Hanya 1% saja yang memanfaatkan moda kereta rel listrik/kereta api. 
Permasalahan kemacetan di Jakarta juga tidak terlepas dari akar permasalahan transportasi yaitu dikarenakan tidak terkendalinya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, serta buruknya fasilitas pelayanan sistem angkutan umum yang ada saat ini. Jumlah kendaraan bermotor saat ini jauh melebihi kapasitas jalan yang ada.
Berdasarkan data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, kelompok pengendara kendaraan bermotor roda dua adalah penyebab utama kemacetan, pemicu kecelakaan lalu lintas serta pelanggar rambu lalu lintas terbanyak. Perilaku ini diikuti oleh angkutan umum mikrolet, metromini, hingga bus umum dan besar. Ketidaknyamanan dalam menggunakan jasa angkutan umum dengan sendirinya juga menyebabkan meningkatnya pemakaian kendaraan pribadi yang pada akhirnya menambah parah kemacetan. Padatnya kendaraan bermotor di Jakarta juga menyebabkan polusi udara yang berdampak buruk pada kesehatan warga Jakarta.
Menurut data Polda Metro Jaya, penambahan mobil baru di Jakarta rata-rata 250 unit per hari, sedangkan sepeda motor mencapai 1.250 unit per hari. Pada tahun 2007, jumlah kendaraan yang melaju di jalanan Jakarta yang panjangnya hanya 5.621,5 km mencapai 4 juta unit per hari. Rata-rata pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dalam lima tahun terakhir mencapai 9,5% per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan hanya 0,1% per tahun. Ini berarti bahwa dalam beberapa tahun ke depan, jalan di Jakarta akan tidak mampu menampung luapan jumlah kendaraan yang terus tumbuh melebihi panjang jalan yang ada. 

4.2       Analisa dan Pembahasan
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, maka hasil analisis bahwa kemacetan secara dominan yang terjadi di Kota Jakarta adalah keberangkatan jam kerja dan pulang kerja senin s/d Jumat kemacetan kota Jakarta juga  terjadi di lampu merah, pintu masuk Tol, Pintu keluar Tol, Jalur arteri, persimpangan, lingkar luar, bundaran, pertigaan, perempatan, jalur alternatif, persimpangan rel kereta, terjadi khususnya pada pukul 06.00 - 09.00 dan 17.00 – 21.00 WIB, dimana sebagian banyak penduduk kota Jakarta mulai menjalani aktifitas.
Salah satu faktor teknisnya adalah meningkatnya jumlah kendaraan pribadi di DKI Jakarta merupakan dampak dari kemacetan yang semakin menjadi di Ibu Kota Jakarta. Banyak masyarakat berlomba-lomba membeli kendaran roda empat yaitu mobil dan kendaraan roda dua yaitu motor salah satunya untuk beraktivitas disiang hari, oleh karena itu dampaknya sangat besar menjadi kepadatan di jalan raya dan itu semua karenanya kurang fasilitas angkutan umum dari Pemerintah sehingga sebagian masyarakat memilih kendaraan pribadi. 
Sebagian masyarakat memilih kendaraan roda dua manfaatnya sangat efisien dan juga terjangkau dari kantong saku akan tetapi banyak kendaraan roda dua yang dapat menimbulkan kemacetan dan banyak kecelakaan akibatnya tidak mematuhi UU Lalu Lintas. Sedangkan aksi pengemudi sepeda motor yang tidak menggunakan helm, melawan arus, kebut-kebutan, dan tidak mematuhi rambu lalu lintas juga dianggap sebagai biang kemacetan.
Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta 2008 menunjukkan, pertambahan jumlah sepeda motor sekitar 1.500 unit per hari dan jumlah mobil bertambah 250 unit per hari. Total jumlah kendaraan yang melaju di jalanan mencapai sekitar lima juta unit per hari.
Contoh lain adalah Banjir yang sering melanda Jakarta adalah salah satu keadaan yang membuat Jakarta nyaris lumpuh. Otomatis mobil dan motor pun jarang yang berani mengambil resiko melintasi daerah banjir. Banjir besar Jakarta 5 tahunan pun menjadi hal yang harus siap dihadapi warga Jakarta di samping banjir tahunan,kemacetan yang disebabkan oleh ekspansi pembangunan koridor busway serta banjir yang disebabkan oleh perencanaan tata kota yang tidak berjalan dengan baik.

4.3       Solusi Pemerintah dalam mengatasi Kemacetan

Bagaimana caranya untuk dapat membatasi jumlah kendaraan yang melalui jalan-jalan di Jakarta tersebut? Pemerintah DKI Jakarta mengatakan bahwa ada empat alternatif pilihan untuk penerapan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi di DKI Jakarta. Aternatif tersebut antara lain adalah penerapan 3 in 1Electronic Road Pricing (ERP), penggunaan kendaraan pribadi dengan nomor ganjil atau genap, serta pembatasan usia kendaraan bermotor. Metode 3 in 1 saat ini sudah diimplementasikan di Jakarta, namun belum memberikan hasil yang signifikan dalam mengurangi kemacetan. Cara ini pun sudah mulai ditinggalkan oleh negara maju yang kemudian pindah ke metode ERP.
Pemerintah juga mempersiapkan angkutan masal yang cepat dan nyaman serta pembatasan angkutan pribadi akan menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta. Selain itu Pemprov DKI menyusun konsep pola transportasi makro. Angkutan massal dengan sistem mass rapid transit (MRT), bus rapid transit (BRT), angkutan air, dan kereta api disiapkan,seperti memperkenalkan sistem transportasi busway dalam upaya mengatasi kemacetan dianggap cukup tepat.
BRT diwujudkan dengan bus transjakarta yang sudah beroperasi 7,5 koridor. Angkutan air sudah pernah beroperasi, tetapi tidak dilanjutkan.Walaupun banyak mengundang kontra pada awal pengembangannya, busway yang menawarkan kenyamanan dengan fasilitas AC serta dapat mempersingkat waktu tempuh, mendapat sambutan yang hangat dari warga Jakarta.
Terlepas dari keberhasilan pengadaan busway dalam mengatasi kemacetan, alat transpotasi ini tidak bisa sepenuhnya diandalkan untuk mengatasi kemacetan secara keseluruhan. Busway belum berhasil mengalihkan masyarakat kelas menengah ke atas untuk mengendarai kendaraan umum. Masyarakat kelas menengah ke atas inilah yang sebagian besar mempunyai kendaraan pribadi, bahkan memiliki lebih dari satu kendaraan pribadi, yang menambah hiruk pikuknya berkendaraan di Jakarta. Masih diperlukan moda transportasi alternatif selain busway  yang nyaman, aman dan berkelas sehingga dapat mengalihkan sebagian besar pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan kendaraan umum.
Dalam jangka pendek, tingkat efektivitas pemanfaatan busway diikuti dengan pemadatan pemukiman penduduk di pusat kota (pemusatan pemukiman penduduk) dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Sepanjang koridor, terminal atau halte busway dapat dibangun tempat tinggal / rumah susun dan didukung oleh fasilitas umum seperti bank, kantor pos, rumah sakit dan lain-lain. Di Jepang, pemadatan kota ini sudah berjalan lama seiring dengan pembangunan sarana tranportasi kereta api di dalam kota.
Model transportasi seperti kereta bawah tanah dan monorail dapat menjadi alternatif bagi pemerintah daerah Jakarta dalam mengalihkan para pengendara kendaraan pribadi agar mau mengendarai kendaraan umum. .
Tentunya alternatif ini harus dipikirkan secara matang sehingga target pemakai alat transportasi alternatif ini benar-benar tepat sasaran dan dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. Tingkat kenyamanan, kebersihan, keamanan dan ketepatan waktu yang tinggi, dapat menjadi daya jual bagi masyarakat segala lapisan. . Sayangnya, proses yang berlangsung delapan bulan sehingga target operasi pada awal 2016 diperkirakan sulit tercapai.
Harapan angkutan massal lainnya terletak pada kereta api (KA) Jabotabek. Angkutan ini diharapkan mampu memindahkan pengendara kendaraan pribadi dari kawasan pinggiran yang masuk ke Jakarta. Berdasarkan data Dishub DKI Jakarta tahun 2007, dalam sehari sekitar 650.000 kendaraan berbagai jenis dari Bogor, Bekasi, Depok, dan Tangerang berjejal masuk ke Jakarta.
Untuk mengurangi jumlah kendaraan, Pemprov DKI Jakarta bersama PT KA yang kemudian mendirikan PT KAI Commuter Jabodetabek mewujudkan jaringan KA lingkar luar atau loop line yang melayani jaringan rel listrik sebanyak 150 kilometer, yang menghubungkan rute Jakarta-Bogor, Jakarta-Bekasi, Jakarta-Tangerang, dan Jakarta-Serpong.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Prijanto juga mengatakan, kemacetan lalu lintas yang semakin parah di ibukota membuat Pemprov bermaksud untuk memajukan waktu masuk sekolah dari pukul 07.00 WIB menjadi pukul 06.30 WIB.
Selain itu, lanjut Prijanto, untuk perkantoran swasta diimbau untuk memberlakukan jam kerja sesuai dengan wilayah kotamadya masing-masing, yaitu pukul 07.30 WIB di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat, pukul 08.00 WIB di Jakarta Barat dan Jakarta Timur, serta pukul 09.00 WIB di Jakarta Selatan.

4.4       Pemecahan permasalahan kemacetan
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memecahkan permasalahan kemacetan lalu lintas yang harus dirumuskan dalam suatu rencana yang komprehentip yang biasanya meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Pembatasan kendaraan pribadi
Langkah ini biasanya tidak populer tetapi bila kemacetan semakin parah harus dilakukan manajemen lalu lintas yang lebih ekstrem sebagai berikut:
1.      Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju suatu kawasan tertentu seperti yang      direncanakan akan diterapkan di Jakarta melalui Electronic Road Pricing (ERP). ERP berhasil dengan sangat sukses di Singapura, London, Stokholm. Bentuk lain dengan penerapan kebijakan parkir yang dapat dilakukan dengan penerapan tarip parkir yang tinggi di kawasan yang akan dibatasi lalu lintasnya, ataupun pembatasan penyediaan ruang parkir dikawasan yang akan dibatasi lalu lintasnya,
2.      Pembatasan pemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya pemilikan kendaraan, pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea masuk yang tinggi.
3.      Pembatasan lalu lintas tertentu memasuki kawasan atau jalan tertentu, seperti diterapkan di Jakarta yang dikenal sebagai kawasan 3 in 1 atau contoh lain pembatasan mobil pribadi masuk jalur busway.
Selain alternatif di atas, sepeda juga bisa menjadi pilihan alat trasportasi untuk pergi bekerja. Pada saat ini, sudah banyak komunitas ”bike to work” di Jakarta yang merupakan kumpulan  para karyawan yang menggunakan sepeda menuju tempat kerjanya. Tentunya komunitas ini perlu mendapat perhatian agar dapat terus dikembangkan jumlahnya. Dengan bersepeda, tidak hanya dapat mengurangi tingkat polusi tapi juga dapat mengurangi tingkat kemacetan. Pemerintah daerah dapat menunjang komunitas ini dengan membuat jalur sepeda yang aman dan nyaman bagi pengendara sepeda. Pada tempat-tempat tertentu juga dapat disediakan tempat beristirahat bagi parta pengendara sepeda ini. Yang masih sangat jarang adalah tersedianya tempat parkir bagi para pengendara sepeda.Dalam jangka panjang, perencanaan tata kota yang matang, berkesinambungan dan terpadu serta edukasi kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengurangi kemacetan di ibukota.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1              Kesimpulan

Sasaran akhir sebuah penelitian adalah ingin menjawab permasalahan penelitian dan membuktikan tujuan penelitian,maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.       Ibu Kota Jakarta adalah Jantung dari pusat Pemerintahan dan Bisnis tetapi persoalan kemacetan masih menjadi fokus, tidak hanya terjadi di ruas jalan kota bahkan kemacetan telah merembet ke perbatasan Kota Jakarta.
2.      Permasalahan kemacetan di Jakarta juga tidak terlepas dari akar permasalahan transportasi yaitu ketidaknyamanan dalam menggunakan jasa angkutan umum dengan sendirinya juga menyebabkan meningkatnya pemakaian kendaraan pribadi yang pada akhirnya menambah parah kemacetan. Padatnya kendaraan bermotor di Jakarta juga menyebabkan polusi udara yang berdampak buruk pada kesehatan warga Jakarta.
3.      Pemerintah Ibu Kota Jakarta sudah cukup berperan dalam mengatasi kemacetan diantaranya adalah diwujudkan dengan bus transjakarta yang sudah beroperasi 7,5 koridor, mendirikan PT KAI Commuter Jabodetabek, memajukan waktu masuk sekolah dari pukul 07.00 WIB menjadi pukul 06.30 WIB.Tetapi masih belum mengatasi permasalahan kemacetan yang ada.




        5.2       Saran
            Setelah penulis menyimpulkan beberapa poin penting yang ada pada penelitian ini, maka terdapat beberapa saran yang penulis simpulkan, yaitu:
1.      Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju suatu kawasan tertentu seperti yang  direncanakan akan diterapkan di Jakarta melalui Electronic Road Pricing (ERP).
2.      Pembatasan pemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya pemilikan kendaraan, pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea masuk yang tinggi.
3.      komunitas ”bike to work” di Jakarta yang merupakan kumpulan  para karyawan yang menggunakan sepeda menuju tempat kerjanya.
4.       Pembatasan Usia Kendaraan 

DAFTAR PUSTAKA