Jumat, 30 Maret 2012

Tugas 2,Akuntansi Internasional

LETTER OF CREDIT
27209011, 4EB13 

Letter of Credit ( LC ) adalah Surat Berharga, yang merupakan alat bayar untuk sesuatu transaksi ekspor-impor, sehingga pengaturan hukum atas Letter of Credit tersebut diatur adalam perjanjian
Internasional ( bukan perjanjian Nasional / Indonesia ) yang dikuti oleh semua Negara-negara didunia, yaitu menggunakan UCP.500 ( United Custom Practice .500 )
Macam-macam Letter of Credit adalah :
1. Sight Letter of Credit
2. Usance Letter of Credit
3. Red Clause Letter of Credit

1. SIGHT LETTER OF CREDIT adalah :
Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank ( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), bahwa pembayaran akan dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam Surat Kredit tersebut, Dan LC tersebut dapat di diskontokan oleh Penjual di dalam negeri ( Eksportir ) lewat Bank didalam negeri ( Negotiating Bank ) dengan cara melakukan Collection ( yaitu penagihan pembayaran oleh Negotiating Bank kepada Issuing Bank ),


2.USANCE LETTER OF CREDIT adalah :
Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank ( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), bahwa pembayaran akan dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam Surat Kredit tersebut, Dan LC tersebut dapat di diskontokan oleh Penjual di dalam negeri ( Eksportir ) lewat Bank didalam negeri ( Negotiating Bank ), dengan mengikuti semua persyaratan yang tercantum dalam LC tersebut.


3. RED CLAUSE LETTER OF CREDIT adalah :
Alat bayar yang berupa surat kredit yang diterbitkan oleh Bank ( Issuing Bank ) dari Pembeli di Luar Negeri ( Importir ), yang berisi Perintah pembayaran terlebih dahulu maksimal sebesar 80% dari Issuing Bank di Luar Negeri kepada Negotiating Bank di dalam negeri, dimana Eksportir belum melakukan aktivitas ekspor sama sekali, ( LC ini merupakan pembayaran uang muka dari Importir ( down payment ) kepada Eksportir ), LC tersebut sangat likwid berlaku di perbankan, karena semua resiko telah
ditanggung oleh Bank Penerbit di Luar Negeri dan pasti dibayar sesuai waktu yang telah ditentukan.

Contoh kasus mengenai L/C :

Menurut informasi di berbagai media, nasabah Bank BNI melakukan ekspor ke Kenya dan Nigeria, dan eksportir serta importir setuju menggunakan L/C sebagai mekanisme pembayaran. 

Kemudian, importir membuat aplikasi L/C di beberapa bank, di antaranya Ross Bank Switzerland, Citibank NA Singapura, Dubai Bank Kenya Ltd., Indian Bank Singapura, dan Middle East Bank Kenya. Bank-bank ini disebut issuing bank, yang ternyata bukan merupakan bank koresponden Bank BNI. 

Namun alasan ini bukan merupakan salah satu penyebab terjadinya kasus Bank BNI. Ini karena yang terpenting adalah otentifikasi (keabsahan) dari L/C tersebut, yang merupakan dasar utama untuk melakukan proses berikutnya. 

Jika L/C yang diajukan adalah atas unjuk (sight), di sisi eksportir akan dikeluarkan wesel ekspor atas unjuk, tidak ada risiko bagi Bank BNI. Ini karena untuk wesel sight, ketika eksportir mengajukan dokumen ekspornya kepada Bank BNI, seketika itu juga pembayaran harus dilakukan kepada eksportir. 

Begitu juga, ketika Bank BNI meneruskan dokumen ekspor yang sight ini kepada bank importir, pembayaran harus dilaksanakan oleh bank importir ketika dokumen ekspor tersebut tiba ditangannya. 

Jika pilihan ini yang dilakukan, Bank BNI tidak akan mengalami kerugian apa-apa. Jelas, bukan pembiayaan tipe L/C ini yang dipilih, terbukti BNI mengalami kerugian yang sangat besar. 

Selanjutnya, jika L/C yang diajukan adalah berjangka (usance L/C), di sisi eksportir akan dikeluarkan wesel ekspor berjangka (WEB), sebagai sarana untuk pelaksanaan akseptasi oleh issuing bank. 

Jika wesel ekspor itu diteruskan saja oleh Bank BNI (bank eksportir) kepada issuing bank, belum ada kewajiban apa-apa bagi Bank BNI. Dengan kata lain, belum ada potensi kerugian Bank BNI. 

Namun Bank BNI ternyata telah membeli WEB tersebut dengan diskonto, dan resiko muncul dari sini, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Di sinilah salah satu letak kesalahan Bank BNI. 

Risiko ini diambil bukan tanpa alasan sama sekali tetapi adalah untuk memenuhi kebutuhan nasabah eksportirnya dalam rangka pembiayaan ekspornya yang berikut. Ada dua jenis alternatif pembiayaannya. 

Pertama, eksportir yang merupakan nasabah BNI, datang ke bank dan bermaksud mendiskontokan wesel ekspor berjangkanya (menjual dengan cara diskonto). Kedua dia mengajukan pinjaman dalam bentuk pre-export loan dengan jaminan WEB. 

Karena BNI telah membeli WEB dengan cara diskonto, potensi kerugian muncul, jika importir tidak melakukan pembayaran atas WEB. Pihak issuing bank menolak untuk membayar kewajiban importir, jika mereka tidak mengakseptasi WEB. 

Namun jika issuing bank melakukan akseptasi atas WEB, ia harus membayar kewajiban atas WEB itu saat jatuh tempo, dan BNI pun tidak menderita rugi apa-apa. 
Kasus yang terjadi adalah bahwa WEB tampaknya tidak diakseptasi oleh bank importir, sementara Bank BNI telah melakukan pembelian WEB dengan cara diskonto. Potensi kerugian mengalir dari sisni. Kerugian menjadi riil, ketika WEB yang jatuh tempo tidak dibayar importir maupun issuing bank. 

Potensi kerugian semakin membesar, karena ekspor dilakukan ke negara yang risikonya tinggi (high country risk), seperti Nigeria dan Kenya. Nigeria merupakan negara yang masih diliputi perang saudara, sementara Kenya dikenal sebagai gudangnya para pencuci uang (money laundering) dan pemalsu uang. Ada kemungkinan pemerintah kedua negara ini sewaktu-waktu membekukan semua kewajiban luar negeri negaranya. 

Solusi
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ekspor yang telah dilaksanakan oleh eskportir nasabah Bank BNI bisa jadi bukan ekspor fiktif. Hanya saja, karena WEB tidak diakseptasi oleh bank importir, posisi Bank BNI menjadi terbuka, berisiko, dan tanpa cover, yang pada akhirnya berpotensi untuk menderita rugi Rp1,7 triliun. 

Muncul pertanyaan, bagaimana langkah untuk mengantisipasi agar kerugian yang sama tidak terulang? 

Pertama, pembiayaan ekspor hendaknya diarahkan kepada negosiasi wesel ekspor atas unjuk (sight), karena wesel eskspor jenis ini dijamin pasti dibayar oleh bank importir, sekalipun ia bukan bank koresponden (sebagaimana diatur UCP 500). 
Kedua, jika wesel ekspor adalah berjangka, hendaknya dimintakan akseptasi kepada bank importir, sehingga pembayarannya pada saat wesel jatuh tempo dari bank importir menjadi terjamin. Artinya, ketika dokumen ekspor dan WEB diterima, seketika itu juga bank importir melaksanakan pembayaran ke bank eksportir. 



Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar